Menarik nafas panjang dan mulai berfikir. Mungkin, kalau bukan karena penyakit ini ia bisa keluar untuk ikut berkumpul dengan kawan-kawan lamanya. Seseorang mungkin saja berharap besar untuk ia datang, atau mungkin tidak sama sekali. Fulan menghempaskan badannya pelan ke arah tempat tidurnya dan berdeham. "Aku harus bagaimana?", ucapnya pelan. Rintik-rintik hujan turun dengan irama yang tidak ia mengerti. Ia merasa sepi, tak ada sedikit kehangatan yang bisa dirasakannya saat ini. Sebuah amplop besar berisikan beberapa fotonya di masa lalu dikeluarkannya dari laci meja riasnya dan kemudian tersenyum kecil. "Sudah lama sekali..."
"Ayo makan lan..", seorang wanita bergamis hijau membuka pintu kamarnya dan membuatnya kaget. "Umm.. Baik ma, sebentar lagi. Aku harus membereskan ini dulu", seraya mengambil foto-foto dan memasukkannya kembali ke amplop. Wanita itu tersenyum dan kembali menutup pintu, pergi ke ruang makan dimana ayahnya sudah menunggu untuk makan malam bersama.
"Kau tidak jadi pergi?", ayahnya bertanya heran. "Tidak yah.. Lagipula saat ini hujan sedang turun dengan cukup deras. Tidak mungkin kalau aku pergi menghadiri reuni tersebut.", katanya pelan, menyadari bahwa ia sedang makan dan tidak boleh berbicara banyak dan keras. "Kau memang sebaiknya tidak pergi. Penyakitmu bisa tambah parah nanti !!", mamanya menambahkan. "Ya ma.. Aku mengerti", dan kembali melahap makanan yang ada dihadapannya.
Fulan kembali menuju kamarnya dan duduk di depan meja rias model kuno peninggalan zaman belanda. Ia memandangi wajahnya melalui cermin itu dan mulai berbicara pada sosok yang ada di hadapannya. "Kira-kira dia sedang apa ya?", menatap dalam mata itu dan berharap seseorang dibalik cermin itu menjawab pertanyaan konyolnya. "Apa pernah satu waktu dia berfikir tentang aku?", kali ini mulutnya mulai manyun.
***
Fulan mengeluarkan earphone dan memasangnya ke mp4 miliknya, menarik sebuah buku novel dan mulai membacanya lembar demi lembar. "Apa bagian ini kosong?", seseorang bediri di hadapannya dan bertanya. Fulan menutup novelnya kaget dan menatap seseorang itu. Seketika badannya mulai bergetar. "Ya.. Silahkan", ucapnya gugup. Ternyata orang yang bertanya padanya itu adalah seseorang yang dia lihat melalui kerumunan pendaftar tadi. "Mahasiswi jurusan apa?", tanya laki-laki itu saat melepas tasnya dan duduk di sebelah Fulan.. "Um.. Jurusan Arkeologi. Kau sendiri?". "Aku Jurusan Ekonomi. Namaku Miki, namamu?". "Fulan", meraih tangan Miki dan menyalaminya. "Hmmm ngomong-ngomong kenapa kamu mau masuk jurusan itu? Bukankah didominasi oleh laki-laki ya?". Fulan menyimpulkan senyum penuh arti dan membuka kembali novel yang tadi tertutup karena dikagetkan oleh Miki.
"Ayahku seorang arkeolog. Dia bekerja di salah satu museum disini, kupikir tidak buruk jika aku ingin menjadi seperti ayahku". Miki mengangguk pelan meskipun sebenarnya ia masih belum bisa menerima argumen yang baru saja dia dengar. "Lalu, jika kau mengambil ekonomi, mengapa tidak berkuliah di Unimi?", tanya Fulan heran. "Aku sudah mencoba, tapi tidak diterima."-"Tidak apa-apa, tidak peduli kau berkuliah dimana, jika kau mampu kau pasti bisa", kali ini kata-kata Fulan terucap pasti, tanpa terdengar getaran-getaran di bibir merahnya.
***